Nenek di Seberang Rumah yang Tidak Pernah Tertawa

Cerita ini Merupakan Cerita keren yang di tuliskan oleh Guru Bahasa Inggris Daarul ihsan Islamic Boarding School yang Juga merupakan seorang penulis yaitu Ustadzah Ruhama Farasya, S.Pd

Orang Mati Karena Jembatan Pematang (1)

Ketika senja sudah di pelupuk mata, aku masih enggan beranjak dari tepi jembatan. Tempat di mana aku bertemu dengan seorang laki-laki yang ingin mengakhiri hidupnya beberapa minggu silam. Tak ada alasan pasti kenapa aku betah berlama-lama di tempat seperti itu. Aku hanya merasa jika aku ingin menyendiri di sana, terlebih usai mendengar cerita dari ibu, mengenai nenek di seberang rumah yang tidak pernah tertawa.

Kala itu malam merangkak perlahan, semakin lama semakin meninggi. Tapi waktu terasa begitu singkat, tiba-tiba saja jangkrik dan para katak sudah bersenandung ria. Bahkan suara belalang tak mau ketinggalan, sesekali memekik, membuat suasana malam semakin mencekam. Namun cekaman malam itu tidak berarti apa-apa bagiku, mungkin karena aku sudah terbiasa dengan cekaman, sehingga tak menghasilkan rasa takut sedikitpun.

Aku bersembunyi di bawah selimut, berusaha menghalau angin dingin yang seakan menusuk hingga ke tulang. Aku mungkin sudah tertidur setelah itu, jika sebelumnya ibu tak membangunkanku. Ibu menelusup ke balik selimut, menyisipkan tangannya di rambutku, lalu membelainya perlahan. “Apa kau tahu? Sebenarnya dunia tidak sekejam yang kau pikirkan.”

Keningku mengerut, “Maksud Ibu?”

“Ibu membaca ceritamu, itu cerita yang menyentuh. Sungguh. Ceritamu mengingatkan Ibu pada seorang nenek di seberang rumah yang tidak pernah tertawa.”

“Nenek di seberang rumah? Apa aku mengenalnya?”

Ibu terkikik pelan, “Tidak, ini adalah cerita jauh sebelum kau hadir untuk mewarnai kehidupan Ibu. Kalau tidak salah, mungkin saat Ibu berumur sekitar delapan tahun.”

Aku terdiam.

“Kau mau mendengarnya?”

“Tentu saja!”

~~~

Saat itu belum ada listrik, jalan masih berupa tanah merah yang jika hujan sangat sulit dilalui. Bahan bakar utama masih berupa kayu bakar. Di antara rumah ada sesemak yang membatasi, sesekali bahkan masih berupa hutan belantara. Hanya sebagian kecil rumah yang letaknya berdekatan, termasuk  rumahku dan rumah ‘nenek yang tidak pernah tertawa’, aku memanggilnya dengan sebutan ‘nini’.

Nini yang tidak pernah tertawa hanya tinggal dengan dirinya sendiri di rumah yang cukup luas. Anak-anaknya merantau ke kota untuk menuntut ilmu. Sedangkan nini berjuang sendiri untuk membiayai hidupnya, berjualan pupur dan berbagai rempah-rempah di pasar tradisional adalah satu-satunya pekerjaan nini. Jarak pasar yang terbilang cukup jauh tidak menjadi halangan bagi nini, terlebih dengan adanya sepeda ontel yang sudah lama menjadi saksi bisu kerja keras nini.

Sesekali aku heran, bagaimana nini masih kuat mengayuh sepeda? Sedangkan berjalan saja nini sudah hampir terseok, barang dagangan nini juga nampak selalu berat. Tak sebanding dengan hasil jualan nini.

Setiap pagi, sebelum pergi ke pasar, nini yang tidak pernah tertawa berjalan menuju tepi sungai. Lalu pulang membawa sebakul ikan, tentu tidak selalu penuh. Saat nini pulang, aku selalu ada di depan rumah, bersiap ke sekolah hingga sapaan antara aku dan nini di setiap pagi menjadi kewajiban tersendiri bagi kami.

“Assalamu’alaikum,” sapaku pada nini. “Nini kabarnya bagaimana?”

“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah baik, pergi sekolah?”

“Tidak, hari ini libur. Hanya menemani Mamak ke tukang jahit.”

“Ooh, titip salam untuk Mamakmu.”

“Iya Ni. Apa Nini butuh bantuan?”

“Tidak perlu Ding, ini sedikit.” Nini menunjukkan isi bakulnya. “Nini masuk dulu.”

Ku lihat nini berjalan menjauh, kaki nini tampak tak mampu menyangga beban tubuhnya, namun nini seakan menghiraukannya. Entah karena apa.

“Nini ya Ding?” Entah sejak kapan mamak sudah berada di belakangku sambil membawa beberapa helai kain.

“Mak, Ading kasihan sama Nini. Kenapa Nini tinggal sendiri? Nini kan sudah tua. Tak apa-apa kah?”

“Hmmm…”

“Nini hebat ya, tidak bergantung pada siapa-siapa, bahkan pada anak-anaknya. Tapi tetap saja, Nini pasti kesepian.”

“Bukan berarti Nini ingin hidup seperti itu.”

“Maksud Mamak?”

“Nini punya kisahnya sendiri. Anak sekecil Ading belum bisa mengerti apa-apa.”

Aku menatap heran sambil merasakan tangan lembut Mamak menyapu pelan kepalaku.

“Ayo ke tukang jahit!”

https://www.pinterest.com/pin/689965605395666874/

Aku mengangguk lalu meraih tangan mamak, memegangnya sekuat tenaga. Entah apa yang merasuk ke dalam pikiranku, aku tiba-tiba saja takut jika suatu saat aku akan menjadi orang dewasa, lalu meninggalkan mamak seorang diri di rumah, seperti yang dialami nini. Lalu aku memutuskan, bahwa aku tak ingin menjadi orang dewasa.

Selepas shalawat berkumandang diiringi dengan bubarnya jemaah sholat ashar, aku bermain bersama Abi, Muhidin, dan Tatang di Pematang. Jembatan dekat tepi sungai. Jembatan itu sudah tua, namun bukan berarti bukan tempat yang tidak bagus untuk bermain. Jembatan di Pematang, sehabis ashar, adalah tempat yang sepi, dunia bagi anak-anak untuk berekspresi sepuasnya. Entah dengan berteriak atau berlarian tak keruan, atau dengan menceburkan diri ke sungai.

“Apa kalian tahu?” tiba-tiba Tatang duduk di tepi jembatan, mengabaikan pakaian basah penuh lumpur yang membungkus tubuhnya. “Dulu ada yang mati karena jembatan ini.”

Aku beserta Abi dan Muhidin tiba-tiba terdiam. Kami yang awalnya saling mendorong hendak bercebur, tiba-tiba mengalihkan pandangan pada Tatang. Intuisi anak-anak, saat mendengar kisah, mereka akan duduk mendengarkan. Di dalam hidup anak-anak, tak ada hal yang lebih bagus selain kisah.

“Karena jembatan? Maksudmu apa?”

“Aku mendengarnya dari Amang Uji.” Itu nama paman Tatang yang beberapa bulan terakhir berhenti bekerja di kota. Katanya kota tempat yang mengerikan, tidak ada kepuasan yang dapat terpenuhi, terlebih, tidak ada kebahagiaan dan rasa syukur di sana. Katanya itu merupakan perasaan yang ditularkan orang-orang kota secara tidak langsung. Entah apa maksudnya, aku tidak mengerti. Karena aku masih anak-anak.

“Amang memintaku berhenti bermain di Pematang, terlebih membawa Ading, anak perempuan yang salah tempat. Katanya tidak cocok kita membawa Ading untuk bermain bersama.” Lanjut Tatang.

“Tunggu-tunggu, orang mati itu apa?” tanyaku penasaran.

“Amang Uji tidak kisahkan lebih jauh. Katanya kita harus berhenti bermain di sini. Tidak aman.”

“Tapi, sejauh ini tidak ada yang tahu jika kita bermain di sini. Darimana Amang Uji tahu?” tanya Abi.

“Ya, lagipula kita tidak harus benar-benar berhenti. Katakan kita sudah berhenti, itu cukup ku rasa.” Sahut Muhidin.

https://www.kompasiana.com/setowicaksono/5e295c8b097f363fdf7c0bb2/mengulik-alasan-mengapa-anak-zaman-sekarang-kurang-familiar-dengan-permainan-tradisional

Tatang nampak berpikir, lalu Tatang mengatakan sesuatu yang tidak terduga. “Aku ingin berhenti, karena Amang Uji tampak sedih saat mengisahkan orang mati itu. Aku kira dia mengenal orangnya, dan aku kira aku harus berhenti.” Itu kalimat yang sungguh berbelit-belit. Kalimat anak-anak yang belum mengerti apa itu perasaan khawatir dan empati.

“Kalau memang itu, kita bisa berhenti dan memainkan hal lain.” Sahut Muhidin.

Keputusan bulat. Tidak akan ada yang mampu berkata-kata lagi.

Aku pulang sebelum suara mengaji—tanda hari menjelang maghrib—terdengar di langgar. Tak seperti biasanya. Karena itu pula, mamak bertanya-tanya, “Apa ada sesuatu?”

“Kami bosan.” Jawabku asal-asalan.

Mamak mengangguk-angguk.

“Mamak, tadi Ading dapat kisah. Katanya ada orang mati karena jembatan Pematang?”

Mamak tampak terkejut, tangan yang tadinya sibuk menampi beras, tiba-tiba berhenti. “Ading tahu darimana?”

“Amang Uji yang punya kisah.”

“Hmm, itu tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Mana ada orang mati karena jembatan.” Sahut mamak menenangkan diiringi dengan tawa kecil.

Esok harinya, Abi, Muhidin, dan Tatang berkunjung ke rumahku. Selepas ashar. Itu karena sebelumnya, aku bilang pada mereka jika mamak mengundang mereka ke rumah untuk mencicipi kue olahan yang hendak dijual. Sejak Abah meninggal, mamak memang sering berganti-ganti pekerjaan, mengingat ia tak punya keahlian khusus. Terlebih mamak hanyalah lulusan SMP, karena hanya ada SD dan SMP di kampung ini. Sedangkan untuk SMA nya terletak di kampung sebelah. Salat Makmur. Sangat jauh jika berjalan kaki dan sangat lambat jika harus mengarungi sungai.

Kami duduk di beranda rumah, saling melemparkan candaan satu sama lain. Mamak juga ikut serta, senyumnya mengembang dengan indah. Dan saat itu, aku tak mengerti kenapa ia merasa ingin menangis saat melihat senyuman itu. Bukan karena sedih, tapi karena bahagia. Aku tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.

“Mamak, kisahkan pada kami tentang orang mati itu.” Tatang tiba-tiba meminta. “Ading bilang Mamak tahu tentang kisah itu.”

Mamak tampak berpikir, “Kenapa tidak minta Amang Uji yang kisahkan?”

“Katanya Mamak lebih mengenal orang itu.” Sahut Tatang.

Mamak tampak berpikir, lalu tiba-tiba Mamak mendongak seraya berteriak nyaring memanggil nini di seberang rumah. Tampaknya Nini sedang memungut jemuran ikan hasil tangkapannya. Ikan asin.

“Bergabunglah bersama kami Ni!” Abi menambahkan.

“Iya Ni, cobalah kue buatan Mamak!” lanjut Muhidin.

Nini menunjuk ka arah ember ikannya, lalu menunjuk ke dalam rumah. Tak lama, Nini keluar dari rumah sambil membawa setoples keripik. Abi, Muhidin, dan Tatang menatap toples itu dengan mata tak berkedip. Karena itu artinya akan ada makanan tambahan. Intuisi anak-anak tentang makanan tidak bisa dielakkan dan selalu terlihat sangat jelas.

Saat berkumpul bersama, mamak mengisahkan kisah lucu yang biasa ia dengar saat masih SMP. Sesekali mamak berkisah tentang ‘Gadis dengan Telinga Terpotong’; ‘Rumah Si Anak Berkepala Enam’, dan banyak lagi. Aku menyukai kisah-kisah seperti itu. Namun saat itu, perhatianku terkunci pada satu hal. Saat mamak mengisahkan kisah lucu, nini sama sekali tidak tertawa, hanya tersenyum sesekali. Berbeda dengan Abi, Muhidin, Tatang, serta aku yang tertawa hingga terpingkal-pingkal. Aku sempat mengamati nini, lalu nini tersadar dan tersenyum lembut padaku.

Aku tidak bisa berhenti bertaya-tanya, kenapa nini tidak tertawa?

Usai maghrib, setelah mamak menyalakan lentera, aku menanyakannya pada mamak.

“Mak, kenapa nini tidak tertawa?”

“Apa?”

“Nini sama sekali tidak tertawa ketika mendengar kisah Mamak.”

Seketika mamak tertawa nyaring, cukup lama hingga air mata mengalir di pipinya secara tiba-tiba. Di sela tangisnya, mamak mengatakan. “Mamak bahkan tidak pernah melihatnya tertawa lagi.” Mamak mengusap air matanya, lalu melanjutkan, “Besok sore, datanglah hantarkan kue ke rumah Nini. Lalu minta Nini kisahkan tentang Ramlan.”

“Ramlan? Siapa itu Mak?”

Aku menatap mamak penuh tanya, namun ia hanya tersenyum kecil sambil sesekali mengusap air matanya. Ingin sekali aku meminta penjelasan lebih lanjut, tapi entah kenapa aku hanya bisa tersenyum seraya mengangguk mengiyakan.

Bersambung…..

2 tanggapan untuk “Nenek di Seberang Rumah yang Tidak Pernah Tertawa

  1. Avatar Hamba
    Hamba

    Wahh kerennn… Gak sbaar mnunggu sambungan critanya

  2. Avatar Masnengtilah
    Masnengtilah

    MasyaAllah.. Luar biasa ceritanya..
    Sarat makna
    Khas org banua

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *