Esok sorenya, seperti kata mamak, aku pergi menghantarkan setoples kue ke rumah nini. Namun sebelumnya, aku harus menunggu kehadiran Tatang. Saat ku kisahkan padanya tentang mamak, dia bersikeras ingin ikut. Berbeda dengan Abi dan Muhidin yang lebih memilih untuk bermain berdua, begitulah katanya, nyatanya mereka tetap muncul bersamaan dengan Tatang. “Tidak akan ramai jika hanya berdua,” elak mereka.
Aku juga sebenarnya bisa saja ke rumah nini sendirian. Sayangnya aku terlalu takut untuk mendengarkan kisah yang entah apa isinya, bukan karena kisah itu mungkin akan terdengar menyeramkan, tapi karena apa yang terjadi pada mamak tadi malam saat mengatakan itu. Jika mamak menangis, maka apa yang akan terjadi padaku?
Rumah nini mempunyai halaman yang luas, sayangnya tak ada apa-apa selain rerumputan liar yang tumbuh di sana. Di kanan dan kiri rumah nini terdapat sesemak dengan pohon-pohon yang tinggi dan rindang. Tak jauh berbeda dengan rumahku.
Tak ada kamar di rumah nini, hanya ada satu ruang panjang ke belakang hingga ke dapur. Pembatas antara rumah dan dapur pun hanya berupa tirai pendek. Bilik kamar mandi di rumah nini tak mempunyai pintu, tirai pun tak ada. Sesuatu yang wajar mengingat nini hanya tinggal bersama sepeda ontel yang selalu tersandar di samping rumah, seakan ikut menua bersama nini. Aku tahu, karena aku bersama Abi, Muhidin, dan Tatang sering bermain di halaman rumah nini sebelum bermain di jembatan Pematang, sesekali meminjam bilik kamar mandi nini, dan nini tak pernah keberatan akan hal itu.
Aku mengetuk pintu rumah nini, sedangkan Abi, Muhidin, dan Tatang entah kenapa kali ini lebih memilih berdiri di belakangku. Diam tanpa suara, tak seperti biasanya yang ributnya sudah minta ampun.
Tak lama kemudian pintu terbuka, diiringi dengan suara decit kayu tua yang engselnya sudah berkarat. “Ading, ayo masuk!”
Malu-malu ku melangkahkan kakiku, sesekali menunduk untuk menunjukkan sopan santun. Abi dan yang lainnya mengiringi di belakang.
“Mamak memberikan ini pada Nini!” ucapku usai menyilakan kakiku di lantai. Dengan pelan ku serahkan setoples kue pada Nini, lalu diam tak berusara.
Nini memandangku, mungkin heran. “Kalian tidak ingin bermain?” tanya Nini seraya beranjak lalu berjalan ke dapur dengan susah payah.
“Kami ingin di sini saja.” Sahutku begitu nini kembali seraya membawa sebuah piring plastik.
Aku terdiam lagi, begitu pula dengan Abi dan yang lainnya.
Nini menuangkan kuenya ke atas piring, lalu meletakkannya di depan kami. Kemudian, nini ikut diam bersama kami. Cukup lama hingga akhirnya nini menghela napas, lalu, “Kenapa? Kalian aneh hari ini.”
Aku menyikut Tatang yang ada di samping kiriku, lalu Tatang balas dengan memandangku penuh tanya. Dia pura-pura tidak tahu, aku tahu itu.
“Kami ingin mendengar kisah dari Nini.” Ucapku kemudian, berusaha agar tidak terdengar bergetar. Aku diam sejenak, lalu memandang nini dengan tegas. “Kisah tentang Ramlan.”
Seketika nini tampak terkejut, “Apa Mamak yang minta?”
“Tidak,” Aku menggeleng. “Tapi tidak sepenuhnya salah.” Sahutku lagi, bimbang.
Nini menghela napas lagi, “Nini tidak yakin akan berkisah seperti apa, tapi sepertinya itu akan meringankan beban Nini, meski hanya sedikit.” Nini tersenyum.
~~~
Ini kisah beberapa tahun silam, tepatnya lima belas tahun lalu. Saat itu kekeringan menjadi ancaman bagi seluruh orang di kampung, terkecuali bagi anak-anak. Meski sawah menjadi pecahan tanah gersang, meski tumbuhan banyak mengering, meski pasokan air mulai habis, anak-anak tetap ceria.
Keceriaan mereka bukan tanpa alasan, melainkan karena seorang anak berumur tiga belas tahun. Ramlan namanya. Ramlan selalu dikelilingi oleh anak-anak, karena anak-anak menyukai bagaimana cara Ramlan memahami mereka, cara berbicaranya, cara berpikirnya, dan kisah-kisah yang selalu ia miliki seakan tak ada habisnya. Ramlan juga adalah seorang anak yang suka bergaul, suka membagi ilmunya, dan suka menolong orang lain, baik itu tua dan muda. Mungkin karena itulah, di kampung Simpang Ancak, Ramlan dijadikan sosok teladan yang sangat dikagumi oleh penduduk, termasuk ibunya sendiri.
Ibunya, seorang janda muda yang harus menghidupi tiga orang anak sekaligus. Dua laki-laki, termasuk Ramlan, dan satu perempuan. Seorang janda emas, itulah julukan sang ibu yang seorang pekerja keras dengan wajah cantik dan tubuh menggoda.
Ramlan, suatu kali sedang bermain bersama saudara dan teman-temannya. Tepi sawah adalah tempat yang mereka pilih saat itu. Wajar, karena di sana mereka bisa menaiki sebuah batang pohon besar yang tumbang, hampir-hampir berbentuk seperti perahu berukuran sedang. Sesekali Ramlan dan anak-anak lainnya berteriak, berpura-pura bahwa mereka sedang berlayar, menghiraukan teriknya matahari. Sesekali mereka menjadikannya seperti sebuah pesawat, lalu mobil-mobilan.

Zaman dulu, imajinasi anak-anak adalah harta karun terpendam yang harus dijaga oleh semua orang, terlebih bagi para orang tua. Sayangnya, ibu Ramlan adalah tipe wanita yang realistis. Ia tak suka Ramlan banyak bermain, menurutnya itu hanya akan membuang-buang masa muda. Ketika pulang, Ramlan dan saudara-saudaranya disuguhi dengan ceramah panjang lebar mengenai masa depan mereka, hal yang bagi anak-anak, akan terlihat sebagai sesuatu yang abstrak. Namun hal itu tak masalah bagi Ramlan, ia sudah cukup umur untuk tahu mengenai apa yang sudah dialami oleh ibunya. Bukan karena merantau seperti yang dikatakan orang-orang selama ini, tapi karena ayahnya hidup bersama perempuan lain. Itulah alasan kenapa ibunya menjanda. Ramlan tak habis pikir kenapa orang dewasa selalu berbohong.
“Ayo kita mengambil beberapa buah kapuk.” Ujar sang ibu suatu ketika.
“Di tepi sawah?” tanya adik Ramlan.
“Tentu, di mana lagi?”
Seketika senyum sumringah terlihat di wajah Ramlan dan suadara-saudaranya. Itu karena mereka tahu, jika tepi sawah yang dimaksud adalah tempat di mana mereka selalu bermain.
Tak lama kemudian, sang ibu beserta anak-anaknya tiba di tepi sawah. Mereka berempat memungut buah kapuk satu-persatu, lalu duduk bersama di sana dengan beralaskan daun pisang yang kering.
“Ibu, aku ingin bertanya satu hal.” Ucap Ramlan tiba-tiba. “Sebenarnya apa yang ada di masa depan kami?”
Saudara-saudara Ramlan memandang Ramlan heran, begitu pula sang ibu.
“Kenapa kami harus memikirkan masa depan kami dari sekarang?”
“Agar kalian bisa berguna untuk yang lain,” sahut sang ibu pelan. “Agar kalian tak menyesal.”
“Meski begitu, apa kami tetap akan menjadi kami?” tanya Ramlan.
“Maksudmu?”
Ramlan diam untuk sesaat, seperti ada sebuah pemikiran dan beban tersendiri. “Bukan apa-apa,” sahut Ramlan kemudian seraya memandang lurus ke hamparan lahan sawah yang kosong.
***
Esok harinya, Ramlan dan anak-anak lain berkumpul lagi di tepi sawah. Seperti biasa. Lalu mereka memutuskan untuk memainkan permainan lain.
“Bagaimana kalau bermain gasing? Atau memancing?” tanya salah satu dari mereka.

“Hei, aku menemukan sesuatu.” Tiba-tiba anak lainnya berseru.
Kemudian semua anak menghampirinya, lalu melihat ke arah yang ditunjuknya. Sebuah benda bulat tergantung di atas pohon, ukurannya sedang dan berwarna ke abu-abuan. Semua orang tahu apa itu meski hanya sekali lihat. “Apa yang ingin kau lakukan dengan sarang ngengat itu?” tanya Ramlan.
Tiba-tiba salah seorang anak mengambil sebilah bambu, kemudian menggoyang-goyangkan sarang tersebut. Seketika semuanya berlari ketakutan, diiringi dengan teriakan putus asa. Adik bungsu Ramlan, yang terkenal dengan kelambanannya dalam berlari, tiba-tiba sudah melesat melewati semua orang dan entah bagaimana caranya, ia sudah berada di posisi paling depan. Seiring dengan hal itu, suara teriakan tiba-tiba berhenti, mereka terkejut saat melihat adik Ramlan berlari secepat itu. Lalu masing-masing dari mereka berteriak lagi.
Mereka terus berlari, berlari, dan berlari. Tak peduli apakah di belakang sana, sekumpulan ngengat itu mengejar atau tidak.
Pada akhirnya, mereka tiba di tepi sungai Pematang. Lalu mereka menceburkan diri, berdiam selama beberapat saat, barulah muncul ke permukaan. Seketika semua orang tertawa, namun tiba-tiba ada seorang anak yang tertinggal di belakang. Ia masih berlari, meski dengan langkah yang lamban, “Sebenarnya, dari, apa, kalian, lari?” tanyanya seraya mengatur napas.
“Ngengat?” tanya salah satu dari mereka.
“Tidak, ada, apa, apa, di, dalam sarangnya.”
“Apa?” serentak semua anak tertegun, lalu tertawa lagi bersama-sama. Kemudian satu persatu dari mereka keluar dari air, begitu juga dengan Ramlan. Namun sebelum mereka beranjak pergi, Ramlan tampak sedang mencari sesuatu.
“Kalian duluan saja, aku akan menyusul.” Ucap Ramlan.
Ramlan menaiki jembatan, ia melongok ke bawah, menyisiri area sepanjang sungai dengan matanya. Setelah yakin jika benda yang ia cari tak ada, Ramlan memutuskan untuk pulang dengan kaki kanan tanpa sendal. Begitu ingin turun dari jembatan, Ramlan tak sengaja menginjak sesuatu, sebuah paku kecil yang entah datangnya dari mana. Ramlan meringis, lalu mencabut paku itu dari kakinya, kemudian mencuci kakinya di sungai sebelum akhirnya berjalan pulang.
Tertusuk paku kecil bukanlah hal yang menyakitkan bagi Ramlan, termasuk bengkak yang dihasilkannya. Semalam, ketika ibu melihat kakiknya dilumuri darah, buru-buru sang ibu mencelupkan kakinya ke air hangat, agar tidak infeksi katanya. Sementara kedua adik Ramlan malah sibuk memandangi kaki Ramlan, merasa takjub dengan darah yang seakan menjadi sendal bagi kakak mereka.
Ramlan ke sekolah seperti biasa, namun kali ini ia berjalan terpincang-pincang. Orang-orang ramai menanyakan tentang kakinya, namun jawaban Ramlan tak berubah sedikitpun. “Hanya tertusuk paku kecil.”
Di sekolah, Ramlan juga disibukkan dengan pertanyaan beruntun seputar kakinya, lalu masing-masing dari mereka mengatakan, “Tidak akan ada apa-apa. Sebentar lagi pasti sembuh.”
Ramlan mengangguk mengiyakan. Ia sendiri juga tak terlalu mempermasalahkan hal itu, hingga ia merasa sedikit mual dan pusing. Bengkaknya mungkin sudah berhenti, tapi tak mungkin hingga menyebabkan mual dan pusing, terlebih dengan demam yang kian hari kian tinggi, menyebabkan ia tak bisa melakukan apa-apa selain berbaring. Orang-orang silih berganti mengunjungi Ramlan, begitu pula para ‘orang pintar’ yang meniupkan bacaan-bacaan ke sebotol air, kemudian meminumkannya pada Ramlan. Tak ada gunanya, demam Ramlan malah semakin meninggi. Ramlan juga dibawa oleh ibunya ke kampung Kurau, menemui ‘orang pintar’ yang katanya mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Namun nasib berkata lain, tetap saja Ramlan tak kunjung pulih. Beberapa hari kemudian, Ramlan dinyatakan telah meninggal dunia. Seluruh penduduk kampung berduka. Anak-anak terlebih lagi, tak ada yang bisa berhenti menangis saat melihat tubuh Ramlan terbaring pucat dengan seulas senyum di bibirnya. Kata orang, biasanya orang baik memang selalu meninggal dunia lebih dulu, itu karena Sang Khalik sudah tak sabar ingin bertemu.
~~~
“Dulu tak ada yang mengerti apa itu tetanus. Pun tak ada yang mengerti seberapa bahayanya tertusuk paku berkarat.” Nini mengakhiri kisahnya.
Aku tertegun, begitu pula dengan Abi, Muhidin, dan Tatang.
“Apa itu artinya kami tidak boleh menjadi orang baik?” tanyaku.
“Tentu bukan itu, urusan mati hanya Allah yang tahu. Tapi umur ingin dihabiskan untuk apa, itu terserah pada kalian.”
Aku masih tak mengerti, tapi aku tahu jika aku harus menjadi orang baik seperti Ramlan, atau lebih baik lagi.
“Sebaiknya kalian pulang, hari sudah senja. Besok sore setelah ashar, datanglah lagi kemari, Nini masih punya kisah lain.”
Aku tersenyum mengiyakan, sementara Abi, Muhidin, dan Tatang nampak berbisik satu sama lain. Saat itu aku tidak tahu jika mereka menyadari sesuatu yang belum aku sadari.
Bersambung….
(Karya Ustadazah Ruhama Farasya, S. Pd)
Tinggalkan Balasan